Rabu, 05 Januari 2011

Khalifah Umar Bin Khatab



Umar bin Khaththab dikenal sebagai khalifah yang keras dan tegas dalam menjalankan kebijakan negara. Namun demikian, di balik ketegasannya, Umar menyimpan kelembutan hati dan halusnya perasaan.

Sebagai khalifah yang menggantikan Abu Bakar, ia selalu melakukan instrospeksi. Setiap saat melakukan perenungan, apakah kekuasaannya telah digunakan secara benar untuk melayani rakyat, atau telah disalahgunakan untuk hal yang lain. Tak jarang Umar menangis tersedu-sedu manakala ia sedang melaksanakan ibadah, utamanya di saat-saat mendirikan shalat. Apalagi shalat di malam hari. Dari pojok rumahnya sering terdengar tarikan nafas yang menahan gejolak hati, sambil menangis tersedu kepada Ilahi.

Umar tahu persis siapa dirinya. Ia sadari betul bahwa ia bukanlah manusia istimewa. Dirinya menjadi khalifah bukan karena ambisi dan keinginan sendiri. Kekuasaan itu diterima semata-mata karena amanat Allah yang dipikulkan di pundaknya. Rakyat menghendaki agar ia memimpin mereka, menjadi Amirul Mukminin.

Sebagai manusia biasa, ia tidaklah maksum, terpelihara dari berbuat salah dan dosa. Oleh karenanya, godaan kekuasaan tidak pernah berhenti merayunya. Jika ibadahnya kurang mantap, dikhawatirkan godaan itu datang dan diterima sebagai suatu kebenaran. Itulah sebabnya, Umar selalu memimpin jamaah shalat fardhu setiap waktu. Juga menganjurkan kepada seluruh gubernurnya untuk melakukan hal yang sama. Bahkan gubernur yang tidak becus ibadahnya dapat
dicopot sewaktu-waktu.

Dalam hal koreksi terhadap kekuasaannya, dia merasa kurang cukup bila hanya dilakukan oleh dirinya sendiri. Dalam hal ini kita bisa melihat kesibukan Umar bin Khaththab untuk meminta pendapat orang lain tentang kekuasaannya, apakah ia menjalankan kekuasaannya sebagai seorang raja atau sebagai khalifah. Bagi Umar, ada perbedaan yang sangat jelas antara kekuasaan raja dan khalifah.

Suatu hari Umar bertanya pada Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah yang ahli strategi. Ia juga dikenal sebagai cendekiawan yang sangat dikagumi. Kepada Salman, Umar bin Khaththab mengajukan pertanyaan, "A-Malikun ana am Khalifatun?" Apakah aku ini seorang raja atau seorang khalifah?

Pada saat itu Salman menjawab, "Jika Anda mengambil jibayah (iuran negara) dari tanah ummat Islam satu dirham lebih atau kurang dari jumlah tersebut, kemudian mempergunakannya bukan pada hak yang semestinya, maka nyatalah bahwa Anda bukanlah seorang khalifah."


Jawaban ini sangat sederhana, tapi cukup mengena. Godaan kekuasaan yang paling dekat adalah `uang`. Banyak orang yang ambisi berkuasa semata-mata karena dorongan materi, sebab dengan kekuasaan itu mereka bisa memperoleh segala-galanya. Kedudukan, kehormatan, sekaligus `uang`. Jika seseorang berkuasa dengan maksud-maksud di atas, maka jelaslah bahwa dia bukanlah khalifah. Boleh saja ia disebut raja, presiden, perdana menteri, atau apalah namanya.

Khalifah Umar sadar betul bahwa dengan kekuasaan ia lebih mudah melakukan penyimpangan, termasuk menyimpangkan harta kekayaan negara. Untuk itu, ia tak bosan-bosannya menanyai ummatnya. Tidak hanya kepada para cendekiawan seperti Salman Al-Farisi, tapi juga kepada rakyat kebanyakan. Dalam suatu pidatonya, ia pernah melontarkan pertanyaan serupa: "Wallahi, maa adrii, a khaliifatun anaa am malikun?" Demi Allah, saya tidak tahu apakah saya ini seorang khalifah atau seorang raja.

Ummat Islam yang biasa bersikap kritis tak segan-segan menjawab pertanyaan yang prinsip ini. Salah seorang di antara mereka menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya antara seorang khalifah dan seorang raja itu terdapat suatu perbedaan. Khalifah itu tidak mau mengambil sesuatu kecuali dengan hak, dan tidak mengeluarkannya kecuali dengan hak pula. Sedangkan seorang raja, ia mengambil sesuatu dari sini, kemudian mengeluarkannya ke sana".

Baitul Maal (semacam bank sentral zaman sekarang), bagi seorang raja tidak lain adalah kasir yang setiap saat bisa membuka rekening untuk keperluan rajanya. Mengucurkan kredit kepada kroninya. Tetapi bagi khalifah, Baitul Maal merupakan institusi yang mandiri. Ia bukanlah kasir khalifah. Keluar masuknya uang selalu dalam kontrol dan pengawasan yang ketat, dalam sebuah
mekanisme dan sistem yang tidak memungkinkan terjadinya kebocoran.

Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, ia sangat sulit untuk memisahkan antara kebutuhannya sendiri dan kebutuhannya sebagai khalifah. Antara tugas sebagai khalifah dengan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, juga sulit dipisahkan. Oleh karenanya ia sangat berhati-hati. Ia tidak bisa memisahkan antara kekuasaannya dengan dirinya sendiri, tetapi bagaimanapun juga ia tetap bisa membedakannya secara jelas dan tegas. Untuk itu, sistem penggajian dalam hal ini diprofesionalkan. Gaji khalifah beserta stafnya harus cukup untuk minimal memenuhi kebutuhan dasariyahnya.

Pada saat Abu Bakar masih menjadi khalifah, Umar mendapatinya sedang pergi ke pasar hendak berdagang. Kala itu Umar langsung menegurnya karena tidak selayaknya seorang khalifah masih harus mencari nafkah, di samping waktunya akan banyak tersita untuk urusan pribadinya. Melihat hal demikian, Umar bertanya kepada Abu Bakar perihal penggajian ini. Dengan terus-terang Abu
Bakar mengatakan bahwa gajinya sebagai khalifah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Melihat hal demikian, Umar berinisiatif untuk melakukan musyawarah dengan pihak-pihak yang terkait dengan Baitul Maal, yang akhirnya menyepakati untuk menaikkan gaji khalifah, dan Abu Bakar urung berdagang sebagaimana profesi yang ditekuni sebelumnya.

Bukan berarti bahwa kemudian Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah dengan semena-mena menaikkan gajinya berlipat kali dari sebelumnya. Umar tetap bersahaja sebagaimana biasa. Ia tidak menumpuk kekayaan pada saat menjabat khalifah, justru ia tampak lebih sederhana dibanding sebelumnya.

Kesederhanaan itu tidak berarti bahwa tampilan Umar menjadi lusuh dengan pakaian yang kumuh. Justru Umar menampakkan suatu tampilan yang menunjukkan bahwa ia bukan termasuk golongan miskin. Ia sangat menghindari untuk dibelaskasihani orang lain. Kekurangan harta disembunyikan agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

Suatu saat Umar diprotes oleh rakyatnya karena ia tampak berpakaian rangkap dan bagus dalam suatu pertemuan resmi. Lelaki yang protes itu mempertanyakan pakaian Umar yang menurut perkiraannya telah mengambil lebih dari bagian yang semestinya diterima. Pada saat itu Umar tidak segera bisa menjawab. Untung ada Abdulllah, putra Umar, dalam pertemuan tersebut. Mengetahui ayahnya kesulitan memberikan jawaban, ia memberanikan diri untuk berdiri, dan menyampaikan pembelaannya. Dikatakan bahwa pakaian yang dikenakan oleh ayahnya adalah hasil pembagiannya berdua karena bagian untuk ayahnya sendiri tidak cukup untuk satu jubah. Sedangkan rangkapan yang dikenakan Umar tidak lain adalah pakaian usang yang terdapat banyak tambalan di sana-sini. Untuk meyakinkannya, Abdullah mempersilahkan ayahnya untuk membuka baju luarnya.

Sebagai khalifah, Umar bin Khaththab menjauhkan diri dari sikap-sikap yang kurang merakyat. Ia tidak ingin diperlakukan secara istimewa. Ia senantiasa menyadari bahwa ia lahir, tumbuh dan berkembang dari rakyat, dan kini telah diangkat oleh rakyat untuk memimpin mereka sebagai khalifah. Kesadaran seperti itu menjadikannya dekat dengan rakyat, bahkan lebih dekat daripada
dengan dirinya sendiri.

Agar kesadaran itu terus tumbuh dan berkembang dalam dirinya, maka Umar bin Khaththab seringkali mengunjungi tempat-tempat, di mana ia pernah menjadi rakyat pada umumnya. Ia sering berkunjung ke Dhahyan misalnya, kampung tempatnya menggembalakan ternak-ternak keluarga al-Khaththab saat ia masih remaja. Di tempat itu ia kemudian bisa merenungkan kembali sejarah hidupnya, merenungi asal-usulnya.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ketika berziarah ke Dhahyan ia berkata, "Di sinilah aku menggembalakan hewan kepunyaan keluarga al-Khaththab. Sering aku mendapatkan pukulan bila pekerjaanku kurang beres. Sekarang aku berada dalam tanggung jawab langsung kepada Allah, laisa bainii wa bainallahi ahadun".

Kesadaran diri sebagai manusia biasa, juga rakyat pada umumnya, menjadikan komunikasinya lancar tanpa hambatan apapun. Ia biasa menerima kritikan langsung dari rakyat dusun, bahkan ia sangat khawatir jika tidak ada lagi orang yang berani mengingatkannya. Yang paling ditakuti Umar bukanlah kritik, tapi justru jika tidak ada lagi orang yang berani mengkritik.

Itulah sebabnya, ketika salah seorang menegurnya saat pertama kali Umar berpidato sebagai kepala negara, ia menerimanya dengan lapang dada. Pada saat itu Umar berpidato, "Jika kebenaran yang saya bawa dan saya perintahkan, maka ikutilah. Namun apabila saya memerintahkan kepada sesuatu yang melanggar ketentuan Allah, maka tegurlah.

Sesaat setelah Umar berkata seperti itu, seorang lelaki dari dusun langsung angkat bicara. "Jika Engkau bengkok, maka pedang inilah yang akan meluruskannya."

Atas teguran itu, Umar malah berterima kasih, kemudian ia berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menghadirkan dari kalangan ummat ini orang yang berani meluruskan bengkoknya Umar dengan pedangnya.

Banyak pemimpin yang kelihatannya terbuka, menerima kritik dan teguran dari manapun, terkesan sangat demokratis dan aspiratif, namun kenyataannya sebaliknya. Tampilannya saja yang demokratis, padahal dalam segala kebijakan yang dikeluarkannnya ia tidak kurang otoriter bila dibanding dengan raja sekalipun. Kritikan diterima, tapi ibaratnya, masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

Banyak pemimpin yang kelihatannya memiliki komitmen kerakyatan sangat kental, padahal banyak kebijakannya justru merugikan rakyat itu sendiri. Terhadap korban-korban kecil, mereka sangat peduli, tapi terhadap korban yang banyak justru cuek. Ketika ribuan ummat Islam dibantai, dengan enteng dikatakan bahwa yang mati cuma lima orang. Sementara seorang yang hendak dihukum rajam karena terbukti berzina, dibela mati-matian dengan mengerahkan banyak ahli dan biaya.

Umar bin Khaththab bukan saja pemimpin yang dekat dengan rakyat, bersikap merakyat, tapi sekaligus membela kepentingan rakyat. Hatinya, lisannya, dan tangannya sekaligus untuk kepentingan rakyat. Ia bukan saja mengambil hati rakyat, tapi juga menyerahkan hatinya kepada rakyat. Bukan pemimpin yang mengambil hati rakyat, yang kemudian menjual rakyat untuk kepentingannya sendiri. Dalam kaitan ini Rasulullah memperingatkan kepada para pemimpin agar tidak melakukan pengkhianatan seperti itu. Beliau bersabda, "Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya." (HR ath-Thabrani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar